Ibu Rumah Tangga vs Depresi

“You can’t always get what you want, but you can be grateful for what you have. In fact, being grateful for what you have is one of the keys to being happy and having satisfying relationships.”

depresi

Hai para ibu rumah tangga, saya ingin tanya satu pertanyaan.

Sebuah pertanyaan sederhana. Tolong dijawab sejujurnya, ya.

Bahagiakah Anda? Bahagiakan Anda dengan hidup Anda sekarang?

Jika jawabannya adalah “Ya, saya bahagia,” maka pertanyaannya bisa ditambah lagi. Dalam skala 1-5, dalam skala berapa Anda merasa bahagia?

Well, pertanyaan sederhana ini bukan tanpa alasan. Pertanyaan tersebut berlandaskan sebuah fakta, bahwa ibu rumah tangga (stay-at-home moms, dengan anak berusia <18 tahun) lebih rentan depresi dibandingkan ibu bekerja.

Yup, depresi.

Enggak percaya? Silakan.

Tetapi beberapa survey benar-benar membuktikan hal tersebut. Contoh yang paling hits adalah survey Gallup yang diadakan terhadap 60.000 perempuan, pada tahun 2012 lalu.

Survey tersebut menjadi terkenal, karena isinya mengejutkan. Di tengah tren perempuan menjadi stay-at-home mom, ternyata fakta yang didapat cukup mendebarkan.

Menurut survey tersebut, secara rata-rata, ibu rumah tangga (yaitu ibu tak bekerja yang punya anak <18 tahun) mengalami tingkat rasa sedih, stres, marah, serta depresi lebih tinggi dibandingkan perempuan bekerja. Ibu rumah tangga juga kurang bisa menikmati kebahagiaan, serta rendah rasa ingin belajar sesuatu yang menyenangkan.

Survey tersebut bilang, 41% IRT merasa cemas, 26% merasa sedih, 50% stres, 19% merasa marah, dan 28% didiagnosa depresi. Sementara, untuk ibu bekerja (paruh waktu maupun kerja penuh waktu dengan usia anak sama), angkanya di bawah itu.

gallup2

gallup

IRT dan rasa tak berguna

Menjadi ibu rumah tangga memang sangat mudah terkena perasaan tak berguna. Setiap hari rata-rata waktu dan tenaga seorang IRT diisi oleh urusan sama yang berulang. Bangun pagi menyiapkan persiapan anak dan suami. Antar anak ke sekolah. Lanjut nyapu-ngepel-cuci-setrika-cuci piring-masak-membersihkan kamar-membereskan semua ruangan di rumah. Jemput anak sekolah, lanjut ngerjakan urusan rumah lagi, nemanin anak belajar, bebersih rumah lagi (mengisap debu, menyikat lantai, membersihkan bak mandi, mencuci piring lagi, mengelap meja dan perabotan), lalu istirahat. Sebelum istirahat juga rutinitasnya sama: mikir besok pagi masak apa, bekal sekolah anak apa, dan lain-lain. Semua detail berulang, dan tak ada habisnya. Semua pekerjaan rumah tangga tidak punya kosa kata selesai.

Seorang IRT punya jadwal kerja sangat padat. Kalau para bapak sesekali memijati pundak istri, maka para bapak akan tahu betapa tegang dan pegalnya pundak istri Anda. Capeknya luar biasa.

Namun, karena jenis pekerjaannya sudah rutin, dan terlihat sudah seharusnya menjadi tugas istri, maka pekerjaan IRT yang setumpuk tersebut memang tidak kelihatan istimewa. Termasuk di mata suami. Jadi jangan salahkan istri, jika pekerjaan rutin ini dilakukan SETIAP HARI, BERTAHUN-TAHUN, tanpa pujian dan pengakuan yang TERUCAP dari pasangan dan anak-anaknya…..betapa beratnya beban yang dirasakan seorang IRT.

Sakit-sakitan

Menurut ahli, salah satu ciri seseorang terkena depresi adalah tubuh yang tak sehat. Sakit-sakitan, dan tidak bahagia. Perhatikan istri atau ibu Anda, atau diri Anda sendiri. Jika Anda tidak bisa mengingat kapan terakhir kali Anda benar-benar fit penuh semangat hidup, maka itu sebuah kode dari tubuh Anda. Dan kodenya bisa jadi sudah taraf kode ampun-ampunan. Artinya, fisik dan psikis Anda memang benar-benar perlu bantuan.

Jika mau iseng mengukur apakah kita depresi atau tidak, bisa ikuti tes online dari beberapa web, misalnya: ini dan ini.

Kurang Bersyukur

Ketika seorang IRT menunjukkan tanda-tanda depresi (misalnya tidak bahagia, kesepian, sedih, marah), hal yang kerap terdengar adalah: “Ah, kamu itu kurang bersyukur. Kurang iklas. Hidup kamu kurang apa lagi, coba? Anak-anak sehat dan baik, suami pekerjaannya mapan, gak nyeleweng, gak hobi yang mahal-mahal…..dsb dsb.”

Ketika komentar-komentar tersebut diucapkan oleh orang terdekat, atau bahkan oleh pasangan hidup, maka IRT yang mengalami depresi akan lebih merasa sedih, tak berdaya, marah, dan putus asa.

Tetapi, benarkah depresi ada hubungannya sama kurang bersyukur? Ada penelitian yang bilang, bahwa bersyukur adalah antidepresan yang baik. Tetapi masalahnya, depresi membuat seseorang lebih susah untuk merasa bersyukur, karena dirinya diliputi kecemasan, kemarahan, ketakutan, perasaan tak berharga, dll.

Dengarkan keluhannya

Jika hubungan komunikasi suami dengan istri sangat baik, tentu tidak ada masalah bagi seorang istri untuk mengeluhkan beban perasaan dan beban pekerjaan yang dihadapi. Tetapi sayangnya, tidak semua suami dan istri punya hubungan komunikasi yang baik. Dan yang seperti ini jumlahnya sangat banyak di Indonesia.

Jika istri di rumah mengeluh, maka perhatikanlah! Terlebih untuk seorang ibu yang biasanya jarang mengeluh. Setiap keluhannya adalah kode. Ketika seorang ibu rumah tangga bilang dia lelah, maka itu artinya dia BENAR-BENAR lelah. Anda pasti tahu, perempuan itu mahluk yang tahan capai. Selelah apapun tubuhnya, jika untuk anak dan keluarga, pasti akan ditahannya. Tetapi jika sampai ia mengungkapkan bahwa ia lelah, maka itu benar-benar lelah.

Jika suami benar-benar menyayangi istri, dan ingin membuatnya bahagia, responlah dengan positif setiap keluhannya. Simpan dulu kata-kata yang membuatnya menjadi tambah down. Tawarkan bantuan kepadanya secara serius.

Bergaul, bergaul, bergaul

Penyumbang depresi yang cukup besar ternyata adalah rasa terisolasi. Ketika seorang ibu tidak punya kehidupan lain selain antar jemput anak dan mengantar anak les, maka depresi sangat mudah menyerang.

Mengasuh anak adalah pekerjaan amat sangat melelahkan. Fisik dan emosi. Berapa tahun Anda sudah mengasuh anak sendiri (tanpa pengasuh, atau hampir tanpa pengasuh? Bisa dikira-kira sendiri, seberapa besar kelelahan yang sudah menumpuk di dalam fisik dan psikis Anda). Di sisi lain, mengasuh anak tidak bisa diukur secara ekonomis, dan minim apresiasi. Sehingga, ketika seorang ibu mengeluh lelah mengasuh anak2nya, maka sudah bisa diduga, stigma negatif langsung nemplok di wajah si ibu. “Semua ibu ya pasti capek. Kalau gak mau capek ya jangan jadi ibu. Jadi ibu kok gak bersyukur. Gak iklas banget, sih….bla bla bla.”

Bergaul membuat semangat kita bertambah. Mempelajari hal baru, saling sharing pengalaman, bertukar cerita lucu….akan membuat percikan-percikan kebahagiaan muncul di hati.

Penelitian mengatakan bahwa hidup positif cenderung membuat hidup kita lebih bahagia, lebih enerjik, lebih produktif. Info lebih detail ada di sini.

Minta pertolongan

Tak ada yang salah dengan menderita depresi. Maksud saya, menderita depresi itu bukan aib. Semua orang bisa terkena. Ibarat sakit cacar, depresi juga bisa menimpa siapa saja. Tetapi, seperti cacar, depresi akan lebih cepat diatasi jika si penderita cepat menyadarinya, dan mencari jalan keluar untuk penyembuhannya.

Berobat ke psikiater adalah jalan yang sangat baik. Daripada kesana kemari mencoba menyembuhkan diri sendiri tanpa referensi yang pasti, berkonsultasi dengan ahlinya adalah cara yang paling tepat.

Sebagai cara pintas, mulailah serius berolahraga. Tubuh yang sehat, dengan aliran darah yang baik, akan membuat hormon-hormon dan fungsi tubuh bekerja semestinya. Olahraga bisa menaikkan rasa bahagia juga.

Akhir kata, yang ingin saya garis bawahi adalah: menjadi ibu adalah pekerjaan maha berat. Mau jadi ibu bekerja penuh waktu kek, paruh waktu kek, atau ibu rumah tangga 100%. Semua sama.

Saya sering membayangkan, mengapa tugas menjadi ibu dipegang oleh seorang ibu? Bukan seorang bapak? Jawaban ringkas yang saya dapat adalah: Perempuan menjadi ibu adalah karena setiap perempuan itu hebat. Kalau laki-laki yang menjadi ibu, saya enggak yakin mereka kuat bertahan.

Di atas segalanya, menjadi ibu yang bahagia adalah kunci kebahagiaan anak dan keluarga. Kita bahagiakan diri kita dulu, baru kita bisa membuat orang yang kita cintai juga bahagia. Setuju?

Selamat Hari Ibu!

8 thoughts on “Ibu Rumah Tangga vs Depresi

  1. raniyulianty123 says:

    Artikelnya bagus, dan Salah satu alasan kenapa saya masih bekerja bukan karena kurang mencintai anak-anak tapi saya tidak mau mengorbankan anak-anak jika saya depresi

  2. indri says:

    setuju, apalagi full stay at home mom dengan pengalaman kerja di luar lebih dari 10 tahun seperti saya. di awal-awal memang lebih banyak stress-nya 🙂

  3. Kiki says:

    Hallo. Aku Kiki aku salah satu IRT yg stress bgt. Selain stress ttg RT aku juga tinggal di area keluarga suami semua.. rasanya segalanya numpuk bertubi-tubi ketika dengar cibiran, anak2 nakal / suami cuek.. ga ada habisnya, mau bersyukur tapi apa yg harus disyukuri dr rasa cemas takut marah depresi dll. Belum tau kedepan harus apa. Sharing adalah salah satu obat buat kejenuhan saya.

  4. safitri says:

    Artikel yg bgus. Saya banget lah. Sampai saat ini sya msih sring nangis sndiri gra2 stres dipresi dll. Smpai kdng ad pkiran negatif melintas d pikiran ini. Krena it skrng sya memutuskan ingin mulai mencari pekerjaan, ingin mnjdi wanita karir. Bukan berarti sya gak syng anak. Tpi sya tkut ank sya mnjdi pelmpiasan sya krna sking gak kuatnya nahan emosi ini. Tapi di sisi lain kdng sya mikir. Anak2 sya msih kecil, mrka msih mmbtuhkan aku dan di sisi lain sya sdh trlalu stres dngan rutunitas yg sprti ini. Smpai skrng blum nemuin solusi yg pas

Leave a comment